Jumat, April 11, 2008

Setelah Nikmat Lalu Sengsara

Berita di harian KOMPAS, hari Kamis tanggal 10 April 2008 memberitakan tentang Fit (17) dan Suryadi (21) serta dukun urut Mak Kokom, ditangkap dan dijadikan tersangka kasus pengguguran kandungan Fit. Fit dan Suryadi ditangkap di rumah orangtua Suryadi pada hari Selasa (8/4) pukul 22.00. Keduanya mengaku menyesal. Fit mengaku belum siap memiliki anak karena ingin menyelesaikan sekolahnya lebih dahulu. "Saya takut dikeluarkan dari sekolah karena hamil di luar nikah. Kalau saya tidak selesai sekolah, masa depan saya pasti tambah suram," tutur Fit.


Dengan uang Rp. 400.000, Fit dan Suryadi yang sudah berpacaran satu tahun itu pergi ke rumah mak Kokom untuk menggugurkan kandungan yang sudah berusia sekitar enam bulan.


Okay, mari membahas poin pertama, resiko pengguguran pada usia enam bulan(!). Mengagumkan bahwa butuh waktu sampai enam bulan sebelum mereka berdua mendatangi dukun urut. Entah apa yang mengakibatkan begitu lamanya waktu berlalu sebelum mereka berhasil menggugurkan kandungan. Apakah karena kesulitan mengumpulkan dana untuk biaya aborsi? Atau apakah karena kesulitan mencari orang yang bisa dan mau melakukan tindakan aborsi? Apakah karena kebimbangan antara menggugurkan kandungan atau mempertahankan kehamilan? Entahlah.


Apakah tidak ada yang bisa memberitahukan mereka kalau makin tua usia kandungan maka makin besar resiko tindakan aborsi itu? Artinya bukan hanya janin saja, nyawa si calon ibu juga jadi taruhannya. Apalagi bila dilakukan oleh dukun urut dalam kondisi dimana higienitas prosedur sangat diragukan.


Poin kedua, bila memang Fit ingin menyelesaikan sekolahnya lebih dahulu -- agar masa depannya tidak makin suram -- kenapa tidak memutuskan untuk tidak melakukan seks sebelum lulus sekolah? Bukankah itu lebih aman? Bayangkan kalau paling jauh mereka hanya fellatio atau cunnilingus, tidak mungkin kan Fit bisa tiba-tiba hamil? Atau bila mereka memilih "pacaran yang sehat" (bila ada suatu kondisi yang bisa disebut seperti itu), bukankah mereka secara dewasa tidak akan melakukan hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah (kesampingkan nikah siri yang cenderung merugikan pihak perempuan).


Kenapa tidak selibat saja? Itu jauh lebih baik dan paling aman untuk masa depan Fit. Setelah ditangkap karena aborsi baru menyesal? Kenapa tidak menyesal begitu pertama kali berhubungan seks?


Atau kenapa tidak memakai pengaman saat berhubungan seks? Kondom kan murah. Resiko penularan penyakit juga diminimalisir. Atau pakailah metode kontrol kehamilan lain bila dianggap penggunaan kondom mengurangi kenikmatan dan sensasi yang dirasakan saat bersenggama. Atau bila mereka tetap tidak berminat menggunakan alat pengaman tapi tetap ingin bersenggama, kenapa tidak sepakat agar setiap kali Suryadi ejakulasi, dia mengeluarkannya di luar? Kalau ejakulasi di luar juga dirasakan kurang nikmat, tidak juga menggunakan pengaman apa pun, maka mereka berdua memang orang tolol.


Poin ketiga, akses kepada alat pengontrol kehamilan di Indonesia memang sulit diakses(?). Setahuku, bila ada pasangan laki-laki dan perempuan mendatangi dokter untuk berkonsultasi dan memilih sistem dan metode pengontrol kehamilan yang tepat -- selain kondom -- maka mereka harus menunjukkan surat nikah. Kondisi ini bisa menyebabkan pasangan yang belum menikah legal lalu tidak menggunakan pengontrol kehamilan selain kondom. Ini pada ujungnya bisa menyebabkan semakin besar pula resiko kehamilan di luar nikah yang tidak dikehendaki.


Poin keempat, kenapa tidak menggunakan kondom. Selain harganya murah, banyak juga tempat yang menjualnya. Jangan katakan Suryadi seperti seorang yang kukenal, yang lebih merasa malu untuk membeli kondom tapi tidak malu sama sekali memanipulasi laporan keuangan untuk menguntungkan diri sendiri. Sungguh menyedihkan.


Bayangkan dampak psikologis setelah tindakan aborsi, apakah mereka tidak merasa bersalah sama sekali?


Secara ekonomis saja, peenggunaan kondom pada jangka panjang adalah jauh lebih murah daripada tidak menggunakan kondom saat bersenggama. Secara matematis sederhana, bila sebuah kondom berharga Rp. 4.000, maka uang yang dikeluarkan untuk aborsi bisa membeli 100 buah kondom. Bila Fit dan Suryadi berhubungan seks sekali sehari, maka mereka bisa berhubungan seks 100 hari alias dua bulan sepuluh hari. Atau bila membandingkannya dengan tarif Rp. 2.500.000,00 yang dipasang para pelaku aborsi di daerah Yogyakarta, bisa membeli 625 buah kondom! Artinya bila berhubungan seks dua kali setiap malam selama setahun (kecuali pada saat Fit sedang haid) maka ada 10 bulan lebih Fit dan Suryadi berdua aman dan terlindungi -- asalkan kondom tersebut tidak bocor.


Jauh lebih murah dibandingkan resikonya, bukan?


Poin kelima, apa yang selanjutnya akan terjadi pada Fit? Bagaimanakah masa depannya nanti? Suryadi jelas tidak bisa diharapkan. Apa yang saat ini bisa dilakukan seorang tamatan SD yang masih tinggal di rumah orangtuanya? Fit memang bodoh. Entah pantas dikasihani atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what is it?