Rabu, Februari 25, 2009

Setinggi Langit dan Sejauh Daratan Cina

Tadi sore aku chat dengan seorang teman lama. Sudah sepuluh tahun aku mengenalnya. Sudah jauh lebih tinggi sekolahnya daripadaku. Sudah lebih banyak kota dan desa di Indonesia yang dia kunjungi. Sudah lebih jauh odometer badannya -- kalau ada! -- daripada aku.

Tapi anehnya, deep down inside, tak satupun dari dua aspek itu -- i.e. perjalanan dan pendidikan tinggi -- yang bisa benar-benar mengubahnya.

To me, he's still more or less all talk and theories.

Mungkin pendapatku bias karena aku punya rasa disrespect and contempt pada pribadinya yang bahkan sampai sekarang, meskipun sudah jauh berkurang banyak, tetap ada.

Some people just can't change (that is, not to say ALL PEOPLE)...

Memang aku sengaja menanyakan beberapa hal tentang fasilitas dan privilese yang dia sebutkan DENGAN ANGGAPAN BAHWA SEMUA ORANG MENDAPATKAN KEISTIMEWAAN/KEMEWAHAN YANG SAMA. LIKE IT IS GIVEN. 

Entah memang naif atau ignorant, tentu saja aku katakan ke dia dengan gamblang kalau tak semua orang di tempat yang sama dengan dia bisa mengakses semua fasilitas tersebut, which of course nullify his reasoning and explanations.

My God, mengingat dia sudah bergelar magister dengan gaji yang setidaknya beberapa kali lipat gajiku, tapi dengan opini dan pendapat yang seperti itu -- ditambah kebiasaan pengabaian fakta -- aku jadi merasa bimbang:

Buat apa belajar setinggi langit (eh, atau "menggantungkan cita-cita" ya) dan menuntut ilmu sampai ke negeri China kalau pola pikir hanya terbuka sebagian?

Ooopss.. Rasanya aku memang SANGAT BIAS kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what is it?